top of page
Search

Sepotong Keluh Para Pencari Makan

  • Writer: Rofidatul Hasanah
    Rofidatul Hasanah
  • Sep 16, 2017
  • 3 min read

Mahasiswa Indonesia di Rajamangala University of Technology Thanyaburi Thailand

“sii sip haa baht” ha? Berapa? Sii sip haa? Tunggu, neung, song, sam, sii... empat, sip empat puluh, ha lima. Empat puluh lima baht. 45 baht? Untuk sekotak kecil makan siang? Itu setara dengan Rp. 18.675 (kurs terakhir yang dilihat 1 baht=Rp.415) iya, iya... sudah tidak kaget lagi. Ini bukan Jember Little sweetie, bukan warung bu Coki dimana kamu bisa mendapatkan tiga kali makan siang dengan lauk telur dadar bertoping sayuran rebus dan sambal ulek ekstra pedas hanya dengan harga Rp. 18.000. oh, mungkin ini bukan hal yang baru bagi mereka yang biasa hidup di kota metropolitan sekelas Surabaya dan Jakarta, mungkin. Atau harga tersebut bisa dikatakan murah. But, brow and sist, saya hanya seonggok manusia kecil yang begitu beruntung mengenyam pendidikan strata satu di sebuah kota kecil bernama Jember dengan Upah Minimum Regional sebesar Rp. 1.763.392,5 perbulan (sumber: www.gajiumr.com/gaji-jawa-timur/) yang terbiasa hidup hemat dengan dalih kita sebagai mahasiswa harus hidup prihatin (seperti yang dikatakan Ustad Mujab pada Furqon di film Ketika Cinta Bertasbih 1). Seonggok manusia kecil ini tiba-tiba nguing terbang begitu saja hingga sampai ke negara tetangga yang bahkan belum khatam wisata di kabupaten sendiri.


Ok, walaupun biaya hidup di Thailand dan di Indonesia gak beda-beda jauh, tapi tolong disini anak kecil ini bukan sedang bekerja jadi gak ada income perbulan yang bisa ditunggu untuk bayar utang kalau lagi kepepet pinjam ke teman sekamar. Wait? Kamu punya orangtua. Of course, dan mereka gak keberatan bagaimanapun caranya bisa ada dan kirim uang buat sang putri tercinta kalau dia butuh. Ya, tentunya kita sadar dirilah, untuk sedikit mengurangi sedikit.... aja mengurangi beban orangtua.


That’s why, kalian gak perlu khawatir kita lupa diri dan keblabasan menikmati kesempatan. Pelesiran tiap akhir pekan, beli ini itu mumpung made in Thailand, dan menjadi supporter utama keberlangsungan dan kemakmuran kapitalisme. Kita cukup sadar diri kok dalam memanage keuangan. Soalnya boro-boro buat hidup bermewah-mewahan, buat makan aja itu uang udah bablas gak karu-karuan. Apalagi kalau sudah kayak gini, saat warung muslim di cafetaria kampus nutup yang biasa menjual makanan 35 baht perporsi, kita harus merelakan 10 baht lagi demi mendapat sekotak kecil makan siang berlabel halal di toko swalayan. Yang jatuhnya lebih “eneg” daripada kenyang. Ya... tapi itu bagian nikmat Tuhan yang tidak boleh didustakan. Percayalah ada orang yang ingin ada di posisi ini melebihi bagaimana kita ingin. Ok fix!

Makanan warung Mak Cik Yasmin "warung muslim" di Thailand

Sebenarnya, untuk sekedar mengenyangkan perut gak harus nasi. Gak harus juga ada label halal yang dibeli dari toko swalayan. Karena kenyang gak harus diasup karbohidrat dan Islam lebih rahmatan lil alamin dari sekedar label halal. Maksudnya begini, di luar sini ada kok pedagang ayam goreng yang hanya menjual ayam yang digoreng. Bisa yakinlah kalau minyak yang dibuat goreng gak mungkin kecampur sama gorengan babi. Sama halnya dengan “warung” besar franchise mendunia yang menjual ayam goreng tanpa label halal disini. rombongan wisatawan berjubah dan Mbak-mbak berjilbab lebar nyaman dan santai tuh makan disitu, why not with ayam goreng bapak-bapak dipojok pasar? Atau ada juga warung makan muslim yang penjual dan pekerjanya semua beragama islam yang insyaAllah tahu dengan baik syarat makanan dikatakan halal. Banyak juga sayur mayur yang bisa dibeli untuk dimasak sendiri atau sayuran siap makan alias sudah direbus (dibuat lalapan misalnya). Kan bagus tuh, uang yang kita belanjakan di pasar bisa langsung diputar untuk kebutuhan primer nan pribadi sang pedagang, atau kita berkontribusi untuk mempertahankan pemilik warung muslim agar tidak cepat gulung tikar sehingga warga muslim tidak was-was dalam menyantap makanan halal.


Sekotak makan siang berlabel "halal"

Tapi, lagi-lagi jikalau sedang berada di kampus, dimana that’s far away kalau harus jalan ke pasar atau balik lagi ke apartmen sedang sejam lagi harus ada kelas, belum lagi sholat duhur. Dalam keadaan tidak sedang puasa dan merasa lapar, ya mau gak mau pilihan paling mudah dan cepat ya makan di kantin kampus atau kalau lagi nutup ya... toko swalayan. Bukan menanggalkan idealisme loh, tapi keadaan. Haha. Ngeles...


 
 
 

Commentaires


Featured Review
Check back soon
Once posts are published, you’ll see them here.
Tag Cloud

© 2023 by The Book Lover. Proudly created with Wix.com

  • Grey Facebook Icon
  • Grey Twitter Icon
  • Grey Google+ Icon
bottom of page