top of page
Search

The Devil Wears Prada dan Insomnia

  • Writer: Rofidatul Hasanah
    Rofidatul Hasanah
  • Sep 14, 2017
  • 5 min read

Dalam beberapa hal terutama mereka yang memilki ketertarikan lebih terhadap seni, tentu menyampaikan sebuah pesan melalui karya seni adalah “karya” tersendiri dalam kehidupan mereka. Entah melalui musik, tulisan atau tarian, baik secara eksplisit maupun implisit, setiap pemilik karya pasti ingin menyelipkan kebaikan bagi penikmat karyanya. Dan saya percaya itu. Sehingga dalam menikmati sebuah karya bagi saya, terutama buku - karena wabah kesadaran literasi yang entah terilhami darimana- saya memilki keyakinan bahwa sang author dibalik setiap kata yang berhasil ia ketik di setiap lembar bukunya, pasti ada menit-menit yang ia lewatkan untuk berfikir keras mengenai manfaat, makna, sumber dan hal-hal lain yang membuat karyanya bukan hanya digemari tapi juga memilki nilai jual. Belum lagi menit-menit lain yang ia gunakan untuk memikirkan kebakuan bahasa, pilihan kata, penggunaan kalimat, kata hubung, kata depan, dan lainnya. Tentu bukan hal mudah. Maka saya selalu mengabaikan orang-orang yang dengan niat baik mempengaruhi agar saya lebih sering membaca buku dengan kadar pemahaman lebih berat untuk dipahami dengan cara sedikit menyepelekan buku ringan berupa cerita fiksi banyak cintanya. Oh come on...


Tapi, saya tidak sedang membahas buku sekarang. Melainkan karya lain yang sama menariknya. Melalui karya ini kita tidak perlu berusaha keras untuk mengimajinasikan “Ia dengan little black dress yang kontras dengan kulit putihnya, dipadu dengan rambut ikal yang digerai sebahu dengan aksesoris kecil serupa pita yang menjempit rambut pirangnya, dan bla, bla, bla...” karena kita sudah bisa mendapatkan gambaran utuh dari apa yang ingin pemilik karya sampaikan. Ya, film. I don’t know why kebiasaan buruk mengisomniakan diri tiba-tiba kumat lagi. Dan karena kehabisan cerita di daftar perpustakaan di wattpad –karena Alhamdulillah, cerita yang ditambah ke library masih update semua-, gak bawa buku apapun waktu meninggalkan kontrakan tercinta, dan kronisnya penyakit malas mengerjakan tugas, akhirnya untuk mengisi malam begadang terciptalah ide iseng-iseng nonton lagi film yang keren-menurut saya- untuk yang ketiga kalinya. The Devil Wears Prada. Film yang rilis tahun 2006 yang diadaptasi dari novel karya Lauren Wesberger ini menjadi pilihan untuk menemani penghujung malam.


Seingat saya, saya masih kelas empat SD saat film ini rilis dan mungkin booming. Jangan berfikir bahwa saya juga menonton film tersebut saat bahkan usia saya masih 10 tahun. Tentu tidak, baru sekitar kelas dua atau kelas tiga SMP saya menemukan majalah Gaul edisi empat atau lima tahun yang lalu yang akan segera dibuang oleh sang empunya karena sedang bersih-bersih isi kamar. Dan saya yang hobi baca-ceileh, iya hobi baca, baca majalah bekas maksudnya- dengan antusiasnya memungut kembali majalah-majalah yang akan dibuang tersebut. Dan disitulah saya membaca daftar film yang sedang tayang di bioskop saat itu, 4/5 tahun yang lalu. Itulah untuk pertama kalinya saya berkenalan dengan The Devil Wears Prada. Memutuskan untuk menonton filmnya dengan menyewa VCD di rental VCD&DVD dekat SMP yang kemudian berakhir dengan jatuh cinta pada Andrea Sachs atau Andy tokoh utama yang diperankan oleh Anne Hathaway dalam film tersebut.


Seorang Andy yang sama sekali tidak tahu menahu mengenai dunia fashion, dengan niat “coba-coba” melamar bekerja di sebuah majalah fashion bernama Runaway. Dan entah keberuntungan atau nasib sial Miranda Priestly menerima Andy yang dengan percaya diri mengataakan bahwa ia cerdas dan cepat dalam mempelajari hal baru untuk menjadi asisten barunya. Yes, Miranda yang like a devil with perfectionist and killing gaze membuat hari-hari Andy menjadi sibuk dan tertekan. She has to do everything perfectly, fast dan selalu tiba-tiba alias mendadak. Andy sempat akan menyerah dengan keadaan, sampai suatu ketika sang Miranda Priestly mengatakan bahwa ia telah mempekerjakan orang yang lebih bodoh dari asisten-asisten sebelumnya yang jauh lebih fashionable, pandai merawat diri tapi bodoh.


Setelah kejadian tersebut dan beberapa hal mendukung lainnya –menurut saya- seperti seringnya Andy mendengar bahwa perempuan lain rela membunuh untuk mendapatkan posisinya, Andy mengubah dirinya, berubah menjadi fashionable, mempelajari banyak hal tentang dunia fashion, dan beradaptasi dengan baik dengan segala tugas tidak masuk akal dari Miranda. Dan karena keseriusannya inilah ia jauh dari kedua sahabat dan sang kekasih yang hidup serumah dengannya. Sibuk dengan telepon dari Miranda saat hang out bersama sahabat dan pacar hingga melewatkan hari ulang tahun sang kekasih. Ya.. Andy, hidup memang pilihan, dan orang yang merdeka memang akan membuat pilihannya sendiri. Tapi, orang-orang seperti kita yang selalu melihat peluang sebagai pilihan kedua dari kehidupan kita sebelumnya tidak akan punya pilihan lain selain menjadikannya pilihan. Oh ribet. Lupakan. Lantas, apakah Andy tidak merdeka? Well, Andy adalah perempuan yang hidup di negara adidaya, di sebuah kota bernama New York, dengan gaya hidup bebas sebebas-bebasnya. So why? Dikatakan tidak kompeten dan bodoh bagi Andy bukan kabar yang baik. Menyia-nyiakan pekerjaaan yang ia dapat dengan mudah sedang yang lain rela membunuh juga bukan kabar yang baik. I think she only wanna prove to the world to Miranda especially bahwa dia bisa dan dia bukan gadis bodoh. Mencintai pacar boleh, sayang sahabat harus, tapi ini pekerjaan men, pekerjaan yang dapat membuatnya memberikan parfum dan tas bermerk secara cuma-cuma kepada sahabatnya, ini peluang, sesuatu yang tidak datang dua kali, dan kalaupun adalagi nanti masihkah semudah sekarang? Masihkah datang dengan keadaan yang sama? Tidak ada yang menjamin bukan? Andy hanya ingin melakukan itu, memutuskan memilih pekerjaannya karena memilih mempertahankan keduanya-comfort zone dan tuntutan-tentu bukan hal serakah yang berakhir indah.


Anyway, walaupun pada akhirnya Andy tidak bisa bertahan sampai satu tahun (menurut informasi di film, orang yang sudah bertahan lebih dari satu tahun bekerja di Runaway bisa dengan mudah bekerja di banyak perusahaan) dan kemudian menyadari betapa tidak cocoknya Andy di Runaway, ia berhasil mendapat pekerjaan sebagai reporter di sebuah surat kabar di New York seperti yang Andy impikan. And you know what? Miranda Priestly-lah yang memberikan rekomendasi kuat secara tidak langsung kepada perusahaan surat kabar tersebut agar menerima Andy.


Andy mungkin telah melewatkan waktu berbulan-bulan untuk pekerjaan yang membuatnya log out of the box, meninggalkan sahabat dan kekasih tercinta untuk peluang yang entah sejak kapan membuat ia nyaman atau lupa lebih tepatnya karena kesibukan pekerjaan dan banyaknya hal baru yang harus ia pelajari. Karena untuk sampai pada titik menikmati pekerjaan tersebut, Andy juga dilanda rasa lelah bersama air mata yang tidak sedikit. Hingga pada akhirnya Andy benar-benar yakin bahwa Runaway bukan tempatnya dan memustuskan berhenti juga meninggalkan si devil Miranda. But, look! Hal menyebalkan yang juga dibenci oleh kedua sahabat dan kekasihnya itu malah mengantarkan Miranda pada pekerjaan yang ia inginkan dan sesuai dengan bidangnya. Bukan hanya berkat Miranda, tapi selama bekerja dengan setengah atau sepenuh hati di Runaway, Andy bertemu dengan banyak orang hebat yang berprofesi sebagai designer, model terkenal, dan jurnalis tentunya, hingga ia mendapat link untuk bisa memasukkan kliping lamarannya ke perusahaan surat kabar bergengsi di New York. Ohhh Andy that’s life, You will never know the end before you try every chance.


Ok, that’s all.

Finally “good morning Pathum Thani, good morning Thailand, and thanks Andy, thanks Lauren Wesberger and thanks David Frankel, You have accompanied this one who has insomnia"


 
 
 

Comments


Featured Review
Check back soon
Once posts are published, you’ll see them here.
Tag Cloud

© 2023 by The Book Lover. Proudly created with Wix.com

  • Grey Facebook Icon
  • Grey Twitter Icon
  • Grey Google+ Icon
bottom of page